Selasa, 05 Oktober 2010

FILSAFAT PENDIDIKAN

KONSEP PENDIDIKAN DALAM
FILSAFAT IDEALISME-RASIONALIS


PENDAHULUAN


Secara umum Mudyahardjo (2003:62) mengartikan konsep pendidikan ada 3 (tiga) yaitu arti luas,  arti sempit dan arti terbatas.
Konsep pendidikan dalam arti luas adalah sebagai berikut :
Pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan hidup dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala sesuatu hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Tujuan pendidikan dalam arti luas terkandung dalam setiap pengalaman belajar, tidak ditentukan dari luar, tujuan pendidikan tidakah terbatas, tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup.
Konsep pendidikan dalam arti sempit :
Pendidikan adalah persekolahan. Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan oleh sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak atau remaja yang diserahkan kepadanya, agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh hubungan-hubungan dan tugas-tugas social. Tujuan pendidikan ditentukan oleh pihak luar. Tujuan pendidikan terbatas pada pengembangan kemampuan-kemampuan tertentu dan mempersiapkan peserta didik untuk dapat hidup dimasyarakat.
Konsep pendidikan dalam arti terbatas :
Pendidikan adalah usaha sadar yang keluarga, masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan yang berlangsung di sekolah atau di luar sekolah untuk mempersiap peserta didik agar dapat memainkan peranan secara tepat dalam berbagai lingkungan hidup. Tujuan pendidikannya adalah perpaduan antara perkembangan pribadi secara optimal dan tujuan social dapat memainkan peranan social secara tepat serta mencakup tujuan-tujuan setiap bentuk kegiatan pendidikan/bimbingan, pengajaran/latihan dari satuan-satuan pendidikan (sekolah/di luar sekolah)

FILSAFAT IDEALISME RASIONALISME

Rasionalisme mendasari teori pengetahuan idealisme, dalam teori pengetahuan dan kebenaran, idealisme merujuk pada rasionalisme, idealisme juga mengemukakan pandangannya bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui indera tidak pasti dan tidak lengkap, dengan demikian dapat dikemukakan bahwa, teori pengetahuan idealisme adalah rasionalisme. Paham filsafat rasionalisme mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan. Rasionalisme adalah lawan dari empirisme yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan jalan mengalami obyek empiris sedangkan rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dari berpikir 
Menurut idealisme rasional, hakikat manusia adalah kesanggupan untuk berpikir. Aristoteles dalam bukunya Wiramiharja (2006:139) Aristoteles menggolongkan jiwa vegetatif, animal, dan human ke dalam jiwa manusia. Jiwa manusia menunjukkan ciri-ciri yang khas, karena kesanggupan manusia untuk berpikir (nous/budi). Tokoh idealisme rasional lainnya adalah :
1.    Rene Descartes
Descartes adalah seorang filosof besar abad ke-17 (1596-1650), ahli matematika dan sains, ia juga seorang pemikir Perancis yang dikenal sebagai seorang arsitek abad pemikiran modern. Descartes lahir pada tahun 1596, menurut catatan, dia adalah orang Inggris, ayahnya seorang anggota parlemen Inggris, pada tahun 1612 Descartes pergi ke Prancis, ia seorang yang taat menjalankan ibadah menurut ajaran agama Katolik. Descartes meninggal pada tahun 1650. Kedua bukunya yang terkenal adalah Discours de la Methode (1637) dan Meditations (1642), dalam kedua inilah ia menuangkan metodenya yang terkenal yaitu “cagito”. Ia menentang terhadap pendidikan yang pernah diterimanya dan mengemukakan akan menggunakan rasio (akal) sebagai alat penyelidikan filsafatnya.
Untuk menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan (le­bih dahulu) segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia mencoba me­ragukan semua yang dapat diinderakan, yaitu obyek yang sebenarnya tidak mungkin di­ragukan. Inilah langkah pertama metode cogito tersebut. Bahkan dia meragukan ada­nya badannya sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan juga pada pengalaman dengan roh halus ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat meng­alami sesuatu seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya, di dalam mim­pi seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, pre­sis seperti tidak mimpi (jaga). Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi, dan kenyataan gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu, Descartes berkata, Aku dapat meragukan bahwa aku duduk di sini dalam pakaian siap untuk pergi ke luar, ya aku dapat meragukan itu ka­rena kadang-kadang aku bermimpi presis seperti itu, padahal aku ada di tem­pat “sedang bermimpi” jadi menurutnya tidak ada perbedaan yang jelas antara mimpi dan jaga.
Berdasarkan pemikiran Descartes ini ada sebuah kisah nyata yang dikutip dari “Pikiran Rakyat 17 Desember 1987” dalam buku Filsafat Umum-nya Ahmad Tafsir (1994:114) yang menceritakan kejadian aneh menimpa CHR (30), penduduk RK 3. Desa Krapyak Semarang Barat Jawa Tengah, ketika semalam suntuk tidur bersama roh halus di sebuah pekuburan. Sampai berita ini ditulis CHR masih termenung-menung dan tidak bisa bicara lancar. Dalam keterangannya kepada PR, istri CHR mengatakan Senin malam yang lalu di lapangan Tugu ada per­tunjukan "Malam Qasidah" yang ramai. Kedua suami-istri itu sepakat akan menonton sampai puas, tetapi karena masih menunggu tamu dan menyelesai­kan pekerjaan, maka sang istri disuruh pergi duluan. Cuma sekitar satu jam kemudian CHR pergi ke tempat pertunjukan untuk menjemput istrinya, tetapi karena suasana begitu ramai, agak sulit mencarinya. Mendadak di sebuah po­jok Puskesmas ada suara memanggil persis seperti suara istrinva: "Mas saya di sini. ..." Begitu menoleh, CHR mengenali wajah orang itu adalah istrinya sendiri, hanya saja pakaiannya berbau serba wangi. "Baumu begitu wangi, ada apa?" tanya CHR yang segera dijawab, "Memang, saya pakai kembang sem­boja." Tanpa banyak cingcong akhirnya CHR mengikuti ke mana saja wanita itu pergi menonton. Bahkan sampai pulang dengan menumpang kendaraan umum Daihatsu juga bersama-sama. CHR merasa sudah sampai di rumah dan kemudian tidur bersama wanita yang dikiranya istrinya itu sampai pulas. Ke­esokan harinya seorang penggembala mendapati sesosok tubuh yang dikiranya sudah mati, di nisan kuno. Ternyata setelah dibangunkan masih hidup. Pemuda itu kemudian menuntunnya pulang karena CHR masih belum bisa bicara. Se­telah diberi minum kopi beberapa gelas dan didatangkan "orang tua" yang cukup sakti, akhirnya baru bisa bicara sedikit demi sedikit. Pada pokoknya CHR merasa semalam tidur bersama istrinya yang semalaman juga tidak pu­lang karena terus-menerus mencari CHR yang dikiranya menonton sampai akhir pertunjukan. Lebih aneh lagi, keesokan harinya kernet daihatsu juga men­datangi CHR di rumah karena uang Rp 150,00 yang dibayarkan semalam, pa­gi harinya telah berubah menjadi delapan kuntum bunga semboja.
Benda-benda dalam halusinasi dan ilusi juga membawa kita kepada per­tanyaan, yang manakah sesungguhnya yang benar-benar ada, yang sungguh-­sungguh asli? Benda-benda dalam mimpi, halusinasi, ilusi, dan kejadian de­ngan roh halus itu, bila dilihat dari posisi kita sedang jaga, itu tidak ada. Akan tetapi, benda-benda itu sungguh-sungguh ada bila dilihat dari posisi kita da­lam mimpi, halusinasi, ilusi, dan roh halus. Dalam mimpi kita melihat dan meng­alami benda-benda itu, dalam mimpi benda-benda itu sungguh-sungguh ada. Sekali lagi: Adakah beda yang tegas antara mimpi dan jaga? Begitulah pikiran dalam metode cagito.
Descartes telah berhasil meragukan semua benda yang dapat diindera. Apa sekarang yang dapat dipercaya, yang sungguh­-sungguh ada? Menurut Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusi­nasi, ilusi, roh halus), juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada sesuatu yang muncul, baik dalam jaga maupun dalam mimpi. Yang selalu mun­cul itu ialah gerak, jumlah, dan besaran (volume).
Betulkah yang tiga ini (gerak, jumlah, besaran) benar-benar ada? Lalu Des­cartes mengujinya, tapi kemudian ia pun meragukanya. Yang tiga macam itu ada­lah matematika, kata Descartes, matematika dapat salah. Saya sering salah men­jumlah (angka), salah mengukur (besaran), juga demikian pada gerak. Jadi ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan. Ilmu pasti lebih pasti daripada ben­da, tetapi saya masih dapat meragukanya. Jadi, benda dan ilmu pasti diragu­kan. Kalau begitu, apa sekarang yang pasti itu, yang dapat kujadikan dasar bagi filsafatku? Aku ingin yang pasti?
Masih ada satu yang tidak dapat kuragukan, demikian katanya, bahkan tidak satu orang licik pun yang dapat mengganggu aku, tak seorang skep­tis pun yang mampu meragukannya, yaitu saya sedang ragu.  Jelas sekali, pasti sekali, saya sedang ragu tidak dapat diragukan, bahwa saya sedang ragu. Be­gitu distinct saya sedang ragu. Boleh saja badan saya ini saya ragukan adanya, hanya bayangan, misalnya, atau hanya seperti dalam mimpi, tetapi mengenai "saya sedang ragu" benar-benar tidak dapat diragukan adanya.
Dalam bukunya Titus, Smith, Nalon yang berjudul Persoalan-Persoalan Filsafat (1984:79) dijelaskan bahwa dari posisi keragu-raguan metodologis, Descartes keluar dengan suatu keyakinan yang kuat bahwa aku itulah yang ada, yang dalam bahasa latinnya “Cogito ergo sum” yang artinya aku berpikir,  karena itu aku ada.
Ahmad Tafsir dalam bukunya Filsafat Umum (1994:115) menggambarkan ringksasan tahapan metode Descartes sebagai berikut :



benda
indrawi
tidak
ada        gerak,
jumlah,
besaran,
(ilmu pasti)
tidak
ada
                              
               
saya
sedang
ragu
ada        saya
ragu
karena
saya
berpikir
       
jadi,
saya
berpikir
ada
      
                                   

2.    Spinoza
Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada tahun 1677. Nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari agama Yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. la hidup di pinggiran kota Amsterdam, Solomon (Ahmad Tafsir,1994:117).
Metafisika modern biasanya dimulai oleh Descartes (1596-1650). Metodenya untuk sampai kepada kepastian sempurna lewat deduksi matematis, Nah, baik Spinoza maupun Leibniz ternyata mengikuti pemikiran Descartes itu. Tiga filosof ini, Descartes, Spinoza, dan Leibniz, biasanya dikelompokkan ke dalam satu mazhab, yaitu rasionalisme.
Karena banyak kesamaan pemikiran dari ketiga filosof modern tersebut, dalam makalah ini tidak akan diuraikan panjang lebar tentang Spinoza dan Leibniz. Perkenalan dengan Spinoza hanya ditekankan untuk melihat kiprahnya dalam mematangkan skeptisisme dalam filsafat modern. Dalam menjawab tentang metafisika Spinoza mencoba mulai dengan meletakkan definisi-definisi, aksioma-aksioma, proposisi-proposisi, kemudian barulah membuat pembuktian (penyimpulan) ber­dasarkan definisi, aksioma, atau proposisi itu. Seperti dalam geometri, Spinoza memulai dengan meletakkan definisi-­definisi. Contohnya definisi yang digunakan dalam membuat kesimpulan-kesimpulan dalam matefisika adalah sebagai berikut :
1.    Sesuatu dikatakan terbatas bila ia dapat dibatasi oleh sesuatu yang lain; misalnya tubuh kita terbatas, yang membatasinya ialah besar­nya tubuh kita itu.
2.    Yang saya maksud dengan atribut (sifat) ialah apa yang dapat dipa­hami sebagai melekat pada esensi substansi.
3.     Substansi ialah sesuatu yang ada dalam dirinya, dipahami melalui di­rinya, konsep dapat dibentuk tentangnya bebas dari yang lain.
4.    Yang saya maksud dengan mode ialah perubahan-perubahan pada substansi.

Sama halnya tatkala ia berbicara dalam astronomi, definisi selalu diikuti oleh aksioma. Aksioma ialah suatu kebenaran yang tidak memer-lukan pembelaan, dalam geometri. Contoh aksioma yang dipasangnya dalam  metafisika sebagai berikut :
1.    Segala sesuatu yang ada, ada dalam dirinya atau ada dalam sesuatu yang lain.
2.    Dari suatu sebab, tentu diikuti akibat; bila tidak ada sebab, tidak mungkin akan ada akibat yang mengikutinya.
3.    Pengetahuan kita tentang akibat ditentukan oleh pengetahuan kita tentang sebab.
4.    Sesuatu yang tidak biasa dikenal umum tidak akan dapat dipahami; konsep tentang sesuatu tidak melibatkan konsep tentang yang lain

Berdasarkan definisi dan aksioma itu Spinoza mulai membuktikan proposisi-proposisinya. Contoh proposisi yang disusunnya adalah sebagai berikut :
1.    Proposisi I    : Substansi mesti mendahului modifikasinya.
Bukti        : Ini jelas dari Definisi III dan IV.

2.    Proposisi II    : Dua substansi yang atributnya berbeda tidak akan
  Mempunyai persamaan.
Bukti        : Juga jelas dari Definisi III karena sesuatu harus ada dalam
  di­rinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri. Dengan
  kata lain, konsep tentang sesuatu tidak sama dengan konsep
  ten­tang sesuatu yang lain.
3.    Leibniz
Nama lengapnya Gottfried Wilhelm von Leibniz lahir pada tahun 1646 dan meninggal pada ta­hun 1716, ia filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarahwan. Pusat metafisikanya adalah idea tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep monad. Monad yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah substansi yang sederhana, yang selanjutnya menyusun substansi yang lebih besar.
Sebagian orang memandang, bahwa seluruh kenyataan terdiri atas kesatuan-kesatuan psikis atau immaterialistis. Pandangan ini disebut “monadisme” sesuai dengan teori Leibnitz (1646-1716) tentang monade. Jika materialisme menekankan yang beruang (berkeluasan) yang sensual, tergambarkan, a normative dan faktual, idealisme meletakkan tekanan pada yang tidak beruang, suprasensual, tidak tergambarkan, normatif, dan bertujuan. Oleh karena itu idealisme mempersoalkan roh, jiwa (psyche) dan idea pribadi (persona).
Manusia sebagai makhluk budaya ialah pendukung kenyataan ideal, seperti dunia norma atau nilai; dan roh yang meliputi norma-norma itu menunjukkan aspek-aspek rasionalitas, estetis, dan religius. Oleh karena itu, dapat dibedakan antara idealisme rasional, idealisme etis, idealisme estetis, dan idealisme religius.
Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spi­noza, alam semesta ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung pada sebab, sementara substansi pada Leibniz adalah hidup, dan setiap sesuatu terjadi un­tuk suatu tujuan. Penuntun prinsip filsafat Leibniz ialah "prinsip akal yang mencukupi", yang secara sederhana dapat dirumuskan "sesuatu harus mem­punyai alasan", bahkan Tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakan-Nya. Kita lihat bahwa prinsip ini menuntun filsafat Leibniz.
Sementara Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi, Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. la menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda satu dari yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad yang tidak dicipta) adalah Pencipta monad-monad itu. Maka karya Leibniz tentang ini diberi judul Monadology (studi tentang monad), monad yang kita bicarakan di sini, adalah substansi yang sederha­na, yang selanjutnya menyusun substansi yang lebih besar.
Di sini Leibniz tiba pa­da prinsip metafisika yang disebut prinsip kontroversi yang dinamakannya "prinsip identitas yang tak dapat dibedakan". Tidak dapat dua monad memi­liki sifat yang sama. Menurut prinsip akal mencu­kupi (Prop. 32), tidak akan ada sesuatu yang ada tanpa alasan yang cu­kup. Bahkan Tuhan pun harus mempunyai alasan untuk memperbanyak mo­nad. Bila ada monad yang sama, untuk apa Tuhan menciptakan yang sama (toh cukup satu)? Oleh karena itu, tidak akan ada dua monad yang sama.
Bagaimana monad (yang simple) itu berkombinasi untuk membentuk sua­tu perubahan dalam alam semesta? Di sini kita sampai kepada pertanyaan yang paling sulit Leibniz menjawabnya: "Bagaimana substansi itu berinteraksi?" Ja­waban Leibniz benar-benar spekulatif dan imajinatif:
Masalahnya ialah setiap substansi itu bebas, dan karena itu sesuatu yang lain tidak dapat melakukan sesuatu kepadanya satu sama lainnya. Descartes mene­mui kesulitan dalam menyelesaikan hubungan mind dan body. Spinoza, seba­gai monis, menyelesaikan masalah ini dengan cara yang amat sederhana: kare­na hanya ada satu substansi, maka persoalan ini tidak ada padanya. Akan te­tapi, Leibniz adalah pluralis; ada lebih dari satu substansi, yang tidak dapat saling berinteraksi. Mond itu tidak mempunyai jendela; mereka tidak mema­hami satu sama mengatakan, "Tidak ada yang dapat masuk dan ke­luar." Dan Leibniz tidak man mengambil penyelesaian lama bahwa monad-­monad itu berkombinasi dan berkombinasi lagi untuk membentuk susunan. Ja­di, bagaimana monad berubah? Mereka harus mempunyai semua perubahan tatkala mereka diciptakan Tuhan, dalam dirinya sendiri. Jadi, perubahan mo­nad ada secara internal, diprogram oleh Tuhan tatkala menciptakannya. Per­hatikan, monad itu imaterial, jadi ia "berkembang" tidak dapat dipahami oleh dunia fisik. Pertumbuhan (termasuk perubahan tentunya) terjadi secara inter­ nal, terjadi antarmonad; ini hanya dipahami oleh dunia monad itu. Di sini ke­lihatan bahwa Leibniz seorang idealis.
Selanjutnya di dalam menjelaskan ini kita mengetahui bahwa Leibniz mem­bedakan persepsi (perception) dan kesadaran (consciousness). Persepsi adalah pengalaman, tentang monad; kesadaran adalah pengalaman khusus, pengala­man refelektif dan hanya terdapat di dalam beberapa monad. Leibniz menghendaki ada aspek ima­terial dalam alam semesta ini.
Dalam pembahasan ini hanya akan diulas secara ringkas teori metafi­sika dua orang metafisikawan terbesar Zaman Modern, tiga bila ditambah de­ngan Descartes. Kedua-duanya (Spinoza dan Leibniz) memperlihatkan teori yang kabur serta meragukan. Kedua-duanya memulai dari basis yang sama (dari sub­stansi), metode yang sama (deduksi), tetapi tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda. Bagaimana kita memilih mana yang benar? Apakah kita tidak dapat menerima kedua-duanya? Apa alasan kita? Akan tetapi, apakah memang mungkin kita mengetahui keberadaan alam semesta ini? Pemikiran-pemikiran ini akan memperkaya keanekaan pemikiran pada Zaman Modern itu. Amat sulit mengatakan mana yang benar. Sepertinya sama-sama benarnya. Akhir­nya orang bergantung pada argumen yang dianggapnya benar. Ada juga yang bingung sama sekali, argumen-argumen filosof itu tidak dipahaminya sehing­ga sulit untuk memilih paham mana yang akan diambilnya. Mudah ditebak, situasi ini akan melahirkan keraguan yang merata. Buat kita, situasi itu, bila dipandang secara umum, adalah situasi relativisme kebenaran. Orang menyebut­nya secara keseluruhan filsafat modern itu skeptisme; saya menyebutnya sofis­me modern. Keadaan itu sama presis dengan situasi umum filsafat sofisme Yu­nani. Kebenaran sains diragukan; ajaran agama digoyahkan. Itu semua dilam­bangkan dalam satu istilah saja: kebenaran itu relatif. Kata relatif itu diguna­kan untuk menunjuk suasana umum; mungkin saja ada filosof yang tidak meng­anut relativisme.
Setiap monad berkembang sebagai suatu refleksi perkembangan semua mo­nad yang lain dalam alam semesta. Bila kita, umpamanya, melihat tupai me­manjat pohon, menurut Leibniz itu adalah realitas tupai memanjat, dan itu adalah persepsi kita yang sebenarnya tentang tupai memanjat pohon. Akan te­tapi, itu bukanlah hal yang mencukupi; kita mungkin saja sedang mimpi atau halusinasi, maka boleh jadi tidak real. Beda antara mimpi dan bukan mimpi ialah perubahan pada monad-monad yang lain misalnya monad-monad yang membentuk tupai, dan dari pemerhati (tupai itu) yang lain, termasuk Tu­han. Realitas tergabung dari totalitas seluruh monad, masing-masing memper­sepsi menurut cara sendiri.
Bagi pandangan kita, pendapat Leibniz itu ganjil. Pada Newton, alam se­mesta adalah gerakan atom di dalam ruang kosong, bergerak satu sama lain menuruti hukum gerak dan gravitasi. Pandangan absurd. Pandangan Leibniz tentang "tidak berjendela" juga sama absurd-nya dengan teori Newton ten­tang kausalitas. Leibniz tidak menggunakan kausalitas; ia memilih pre­established harmony. Newton gagal menyesuaikan teorinya dengan ajaran ten­tang Tuhan dan makhluk.
Perbedaan besar antara Newton dan Leibniz terletak pada soal ruang dan waktu. Pendapatnya tentang ada ruang kosong yang di sana obyek-obyek ber­tempat, sulit diterima. Sama halnya dengan pendapat Newton tentang waktu yang absolut, yaitu waktu yang adanya terpisah dari sesuatu yang terjadi di dalamnya.

KONSEP PENDIDIKAN IDEALISME-RASIONAL
Konsep pendidikan menurut idealisme-rasional adalah menekankan pada akal (rasio). Paham ini meyakini bahwa akal manusia dapat memperoleh pengetahuan dan kebenaran sejati. Pengetahuan yang diajarkan di sekolah haris bersifat intlektual. Filsafat dan logika memperoleh porsi yang besar dalam kurikulum di sekolah. Pengetahuan yang baik adalah pengetahuan yang dikeluarkan dari dalam diri siswa, bukan dimasukkan ke dalam diri siswa.
Menurut Power dalam Pengantar Filsafatnya Uyoh Sadulloh (2006:102-103) mengimplementasikan pendidikan sebagai berikut :
1.    Tujuan Pendidikan
Pendidikan formal dan informal bertujuan membentuk karakter, dan mengem-bangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikansosial.
2.    Kedudukan siswa
Bebas untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasarnya/bakatnya.
3.    Peranan guru
Bekerja sama dengan alam dalam proses pengembangan manusia, terutama bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan siswa.
4.    Kurikulum
Pendidikan liberal untuk mengembangkan kemampuan rasional, dan pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan.
5.    Metode
Diutamakan metode dialektika, tetapi metode lain yang efektif juga dapat dimanfaatkan


DAFTAR PUSTAKA

Abidin,Zaenal. 2002. Filsafat Manusia:Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
Mudyahardjo,Redja. 2002. Filsafat Ilmu Pendidikan : Suatu Pengantar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 1994. Filsafat Umum. Bandung : PT  Remaja Rosdakarya
Titus. Smith. Nolon. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.
Sadulloh,U. 2006. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar